Tangerang – 19 Maret 2021. Berbicara tentang pengembangan ekonomi kreatif adalah soal mengembangkan produk berbasis kekayaan intelektual. Direktorat Pemasaran Ekonomi Kreatif mengadakan diskusi kelompok terpumpun untuk memperkuat pemahamaan landasan kekayaan intelektual tersebut khususnya untuk subsektor kuliner.
“Pemahaman kekayaan intelektual harus diselaraskan antara pelaku ekraf, pakar, dan lintas direktorat dalam Kemenparekraf supaya kami (Direktorat Pemasaran Ekraf) mendapatkan pengetahuan yang komprehensif mengenai kekayaan intelektual,” ujar Yuana Rochma Astuti membuka diskusi.
Deputi Bidang Pemasaran khususnya Direktorat Pemasaran Ekonomi Kreatif adalah ujung tombak untuk mempromosikan ekonomi kreatif.
Robinson Sinaga, Direktur Fasilitasi Kekayaan Intelektual, menjabarkan kekayaan intelektual sesuai dengan UU Ekonomi Kreatif Nomor 24 tahun 2019. Ada beberapa bentuk kekayaan intelektual yang disebut, seperti lisensi, waralaba, jenama bersama (co-branding), alih teknologi dan rahasia dagang. Dari daftar tersebut menurutnya, waralaba paling cocok digunakan untuk subsektor kuliner.
Waralaba adalah bentuk lisensi yang paling lengkap. Pencatatan waralaba Indonesia dipegang oleh Kementerian Perdagangan. Sejauh ini tercatat ada 97 perusahaan waralaba asal Indonesia dan 123 perusahaan waralaba asing. Jumlahnya tidak jauh berbeda memang, hanya saja masih banyak waralaba Indonesia yang harus didorong untuk mencatatkan usahanya.
“Ceruk yang paling besar dari waralaba adalah subsektor kuliner. Banyak juga waralaba untuk pendidikan nonformal, farmasi, olahraga dan lain-lain, tapi tetap yang paling banyak adalah kuliner (Food and Beverages). Untuk menghindari monopoli, pemerintah juga menetapkan batas kepemilikan suatu cabang hingga 250. Lebih dari itu, pengusaha harus mewaralabakan usahanya ke orang lain,” Ujar Ronny Salomo, Ahli Madya Waralaba dari Kemendag menambahkan.
Hal ini dibenarkan oleh Susanti Widjaya, pemilik Bakmi Naga sekaligus perwakilan Asosiasi Lisensi Indonesia. Pengusaha tidak harus mewaralabakan usahanya, tetapi dia sendiri memasarkan Bakmi Naga dengan konsep waralaba agar dapat berbagi keuntungan dengan pengusaha lain, sekaligus mempercepat penambahan cabang. Waralaba juga berarti “meminjam” dana orang lain untuk memperbesar usaha sendiri. Susi menyebutkan bahwa disitu ada bentuk tanggung jawab dan keterikatan antara pemberi waralaba dan penerima waralaba.
Gunawan dan Fortuna dari Asosiasi Konsultan HKI Indonesia punya pendapat lain. Seharusnya dengan adanya kewajiban pencatatan di Kementerian Perdagangan, pemerintah dapat hadir menjadi penengah dan penjamin apabila terjadi sengketa. Berbeda dengan kemitraan yang hanya sekedar perjanjian kedua belah pihak.
Kedepannya, Anang Sukandar (Asosiasi Franchise Indonesia) berharap lebih banyak produk kuliner Indonesia yang tersebar di pasar domestik. Saat ini sudah cukup banyak waralaba asing yang masuk, padahal produk dan rasa serupa dapat diperoleh di Indonesia.
“Buat apa kita mengimpor banyak jajanan dari luar, seharusnya produk kita dikembangkan hingga bisa masuk dan diterima pasar negara lain,” ujar Anang Sukandar, praktisi kawakan franchise yang sudah menginjak usia 90 tahun.
Diskusi ini ini akan dikoordinasikan lebih lanjut lintas kementerian dan pelaku ekraf agar tercipta keselarasan visi dan kolaborasi nyata.