Direktorat Pemasaran Ekonomi Kreatif bersama dengan Ari Juliano Gema (Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kemenparekraf) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) bertajuk Tata Kelola Lisensi Musik Dalam Rangka Pemasaran Berbasis Kekayaan Intelektual pada Kamis, 4 Maret 2021 di Jakarta. DKT yang dihadiri oleh perwakilan asosiasi musik dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tersebut bertujuan untuk mencari solusi atas polemik yang kerap terjadi dalam isu lisensi atau pengurusan izin musik.
Peserta DKT dari unsur asosiasi musik terdiri dari perwakilan Aliansi Penerbit Musik Indonesia (APMINDO), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), dan Komunitas Pencipta Lagu Indonesia (KOMPLANESIA). Sementara dari unsur LMK, yakni lembaga bersifat nirlaba yang berwenang menghimpun dan mendistribusikan royalti, antara lain Performers’ Right Society of Indonesia (PRISINDO), Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), LMK PAPPRI, Anugrah Royalti Musik Indonesia (ARMINDO), Star Music Indonesia (SMI), Royalti Anugrah Indonesia (RAI), Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Pijakan kami membuat kegiatan ini adalah berdasarkan tugas dan fungsi kami sebagai instansi yang menangani bidang ekonomi kreatif. Kami sedang membuat aturan turunan Undang-Undang No.24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif di mana salah satunya adalah tentang pemasaran berbasis kekayaan intelektual,” ujar Ari Juliano.
Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf, Nia Niscaya, yang turut hadir dalam DKT menegaskan upaya ini sebagai kerja bersama. “Benar disebutkan Pak Ari Juliano, fokus kami adalah dari sisi pemasaran. Tentu saja ada K/L lain seperti Kementerian Hukum dan HAM yang akan ikut ambil bagian. Sesungguhnya ini adalah sinergi atau kolaborasi,” jelas Nia Niscaya.
Pihak Kemenparekraf maupun para peserta DKT menyepakati lima poin sebagai titik tolak pembahasan. Pertama, perlu adanya suatu hotline atau kontak khusus sebagai pusat informasi masyarakat untuk mengurus lisensi musik. Kedua, perlu adanya standardisasi biaya lisensi. Ketiga, penyamaan perspektif mengenai penerapan Undang-Undang Hak Cipta dalam industri musik. Keempat, adanya database musik nasional sebagai acuan penggunaan lisensi. Kelima, adanya kesepakatan cara pendistribusian yakni pendistribusian berdasarkan penggunaan (pay per use).
Direktur Pemasaran Ekonomi Kreatif, Yuana Rochma Astuti menyambut positif berbagai masukan yang muncul sepanjang DKT. “Saat ini kami sedang menggalakkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI). Sampai saat ini masih fokus ke tiga subektor saja: kriya, kuliner, dan fesyen. Sudah saatnya subsektor musik ikut digarap,” tuturnya.